Garda Depan Perbukuan
DERAP langkah reformasi yang dimulai pada tahun 1998 membawa dampak positif bagi perkembangan dunia perbukuan Indonesia. Dewasa ini kita akan mudah menemukan tumpukan buku baru yang berderet-deret, yang sebagian besar di antaranya ditulis dan diterbitkan oleh pemain-pemain baru. Tema-tema seperti ketidakadilan, kemiskinan, penindasan, juga seks yang beberapa lalu dianggap tabu untuk dibicarakan kini mulai banyak bermunculan tanpa takut pada ancaman pembredelan.
Perkembangan toko buku di Indonesia juga tidak kalah menggembirakan. Di setiap sudut kota banyak kita temukan toko buku baru yang mengusung berbagi panji sebagai cirinya, dari yang murni toko buku komersial hingga yang diseting sebagai sebuah komunitas baca (Kompas, 15 Februari 2004). Sebagai contoh, di bilangan Jalan Suroto Yogyakarta sejak bulan Oktober 2003 hadir sebuah toko buku bernama Dunia Tera yang merupakan bagian dari aktivitas Yayasan Indonesia Tera Magelang. Dunia Tera lahir mengusung sesuatu yang unik, ia menformat dirinya tidak sekadar sebagai toko buku atau toserba yang berjejal berbagai macam buku yang terkadang justru membuat pembaca kenyang sebelum membaca. Dunia Tera mencoba menawarkan alternatif toko buku sekaligus ruang baca, untuk menjalin keakraban antara buku dengan pembaca (Bernas, 5 November 2003; Kompas, 15 Februari 2004; Matabaca, Vol.2/No.8/April 2004). Penataan ruangnya diformat sebagai gabungan antara toko buku, taman bacaan, dan galeri seni.
Berbicara toko buku, sesungguhnya tidak dapat melepaskan diri untuk menengok peran pramuniaga sebagai garda depan sebuah toko buku. Walau berada pada tingkat paling bawah dalam sebuah struktur organisasi, pramuniaga sesungguhnya memiliki andil yang tidak kecil dalam kelangsungan hidup sebuah toko buku. Misalnya, ketika seorang konsumen kesulitan mencari sebuah buku dengan judul tertentu di antara sedemikian banyak buku, pastilah mereka akan bertanya kepada pramuniaga. Bahkan, konsumen seringkali bertanya kepada pramuniaga hanya berdasarkan tema atau subjek tertentu tanpa mengetahui judul buku atau nama penulisnya.
Pramuniaga, yang dalam istilah sebuah jaringan toko buku besar di mana penulis pernah bekerja disebut sebagai wiraniaga (satria berdagang), mengemban tugas sebagai seseorang yang berhadapan langsung dengan pembeli atau calon pembeli buku. Untuk itu, wiraniaga dituntut untuk memiliki dan menguasai segala informasi mengenai produk yang ada di toko buku. Tugas lain seorang wiraniaga adalah menjaga keamanan dan kerapian buku yang dipajang dan segala pernak-pernik yang ada di toko buku sebagai aset perusahaan.
Sebagai devisi yang langsung berhubungan dengan customer, seorang wiraniaga dituntut keaktifannya dalam memberikan pelayanan dan mampu menciptakan atau pun mempertahankan hubungan harmonis yang telah terjalin dengan para pelanggan. Dalam hal ini, penulis bersyukur dapat menimba pengalaman berharga dari sistem pengelolaan toko buku, terutama divisi wiraniaga, di salah satu toko buku yang termasuk dalam jaringan toko buku terbesar di Indonesia. Meski hanya refleksi pribadi yang cukup subjektif, tulisan ini semoga memberi gambaran yang memadai bagi para pembaca yang ingin mengetahui seluk-beluk penanganan toko buku terutama dalam kaitannya dengan kepramuniagaan toko buku.
Sebagai usaha untuk mengetahui harapan konsumen dan bekal untuk pembenahan berkelanjutan, toko buku perlu mengadakan semacam survei kepada pelanggan. Survei berkala ini dapat dilaksanakan dengan memberikan lembaran yang berisi pertanyaan mengenai kepuasan pelanggan dalam hal pelayanan, kelengkapan produk, hingga pendapat mengenai musik yang diputar. Dari sini, ada banyak tanggapan ataupun harapan pelanggan yang dapat dikumpulkan, misalnya dapat diketahui bahwa tidak sedikit pengunjung yang datang dengan motivasi rekreasi atau sekadar mengisi waktu luang, selain tentu saja memang memerlukan produk yang ditawarkan. Survei-survei semacam ini juga bermanfaat untuk menjalin hubungan baik dengan setiap pengunjung terutama pelanggan karena mereka merasa lebih dimanusiakan, bukan hanya dianggap sebagai konsumen yang akan memberikan profit bagi perusahaan.
Untuk dapat memberikan pelayanan yang maksimal, selain keramahan dan kesopanan dalam melayani, setiap wiraniaga juga diwajibkan memiliki pengetahuan akan produk yang dijual. Sangatlah aneh jika seorang penjual tidak mengetahui spesifikasi produk yang ditawarkannya kepada konsumen. Ada banyak usaha yang harus dilakukan oleh staf wiraniaga, mulai dari mencoba mempresentasikan hingga meresensi buku, terutama buku-buku yang menjadi tanggung jawab utama seorang wiraniaga. Hal-hal semacam ini perlu disosialisasikan secara rutin, misalnya dalam briefing yang diadakan setiap pagi hari, setengah jam sebelum toko dibuka. Jika perlu, diadakan juga lomba antar wiraniaga dalam hal pengetahuan atas buku-buku yang ada di toko buku. Untuk lomba semacam ini dapat dibentuk dewan juri yang akan menentukan buku apa yang harus diresensi. Dari kegiatan-kegiatan semacam itu, dapat diketahui sampai sejauh mana pengetahuan dan kecintaan para wiraniaga terhadap produk yang menjadi tanggung jawabnya. Semua itu tiada lain adalah untuk memberikan pelayanan terbaik kepada konsumen.
Keterampilan menata atau mempertunjukkan (display) buku juga menjadi senjata ampuh dalam meningkatkan pelayanan. Prinsip utama dalam penataan buku yaitu untuk mempermudah wiraniaga atau pun konsumen dalam mencari buku yang dibutuhkan. Display buku biasanya dimulai dengan memisah-misahkan buku berdasarkan grup (tema) untuk kemudian sub-grupnya (sub-tema). Bilamana diperlukan, pengelompokan buku dilanjutkan berdasarkan penerbit dan penulis buku tersebut. Misalnya, buku-buku sekolah dijadikan satu dengan buku-buku sejenis untuk kemudian dikelompokkan lagi berdasarkan kelas dan mata pelajarannya. Karena dalam satu mata pelajaran ditemukan beberapa penerbit dengan penulis yang berbeda pula maka pengelompokan dilanjutkan dengan memperhatikan penerbit dan penulisnya.
Penataan buku di floor display sedikit memerlukan penanganan yang berbeda dibandingkan penataan di rak. Selain penanganan standar sebagaimana yang telah dikemukakan di muka, penataan buku di floor juga harus memperhatikan bentuk display, perpaduan warna antar-sampul buku yang akan di-display, hingga jumlah buku yang tersedia. Buku yang datang dalam jumlah yang banyak tentu tidak akan di-display di depan dan menutupi buku yang telah ada atau yang jumlahnya lebih sedikit. Walau terkadang dianggap sepele, ternyata floor display cukup efektif sebagai pendongkrak penjualan. Floor display dikelola sebagai areal promosi buku-buku baru, buku-buku best seller, buku-buku diskon, buku-buku musiman (seperti buku-buku sekolah), juga terkadang untuk mempromosikan buku-buku yang kurang laku hingga penjualannya dapat terdongkrak.
Selain hal-hal yang bersifat teknis tersebut, seorang wiraniaga diharapkan juga memiliki pengetahuan dalam membaca grafik penjualan sehingga dapat cepat dan tepat dalam menyikapi fenomena penjualan yang ada. Seorang penjual tentu tidak akan membiarkan begitu saja produk yang laris terjual habis tanpa memiliki cadangan stok dan sebaliknya malah menimbun produk-produk yang kurang laku terjual. Seorang wiraniaga diharapkan memiliki insting penjualan tersebut sehingga dapat cepat dan tepat dalam pengadaan produk, baik quantity maupun timing-nya, begitu juga dalam meretur produk yang kurang laku. Walau dalam hal ini pengambil kebijakan ada di tangan devisi pembelian, namun setidak-tidaknya pengetahuan dari seorang wiraniaga yang berada di garda terdepan toko buku dapat dipergunakan sebagai masukan ataupun bahan pertimbangan penting.
Hal-hal yang telah penulis sebutkan di atas merupakan beberapa contoh aktivitas pramuniaga atau penjaga atau wiraniaga toko buku, sebagaimana pengalaman langsung penulis bekerja di toko buku besar di Jakarta. Dari sini minimal dapat kita perhatikan bagaimana rekan-rekan yang berada pada posisi ujung tombak ini mencurahkan tenaga dan pikirannya guna memutar roda perusahaan dan secara tidak langsung telah ikut mewarnai dunia perbukuan yang semakin berkembang di Indonesia.
Namun sebuah tulisan tetap sebuah tulisan, yang sulit untuk mengubah pola pandang masyarakat yang seakan kurang memperhatikan keberadaan rekan-rekan pramuniaga ini. Tidak jarang, pengunjung toko buku melihat para pramuniaga sebagai pengawas yang mengganggu aktivitas mereka. Hal ini bisa terjadi jika seorang pramuniaga terlalu menonjolkan fungsi pengawasan dan kurang memperhatikan peran-peran lain yang menjadi tugas mereka. Di sisi lain, pengelola dan bahkan rekan-rekan pramuniaga sendiri secara umum masih kurang menyadari tugas, tanggung jawab, dan peran penting pramuniaga atau wiraniaga atau penjaga toko buku sebagai ujung tombak yang menghubungkan toko buku dan konsumen, buku dan pembaca.
http://pinjambuku.wordpress.com/2007/09/23/pramuniaga-garda-depan-perbukuan/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar